Thursday, July 31, 2014

Not What, But How?

Dreamland Traveller Moment


Not What, But How?
            Salah satu elemen pariwisata yang sangat kental di semua negara adalah belanja, shopping, cuci mata, atau oleh-oleh. Seringkali pariwisata di Indonesia sangat mengutamakan sekali jajanan yang mereka jual. Berbagai pernak-pernik, makanan, suvenir, tas, sepatu, dan lain sebagainya dijual dengan harga tertentu, lalu dibungkus di kasir. Ya, hanya sebatas itu. Kita hanya diberi kesan ambil jika mau, tinggalkan jika tidak mau. Akibatnya, belanja menjadi hanya sebatas belanja tanpa kesan lain.
            Berbeda dengan Vietnam yang sangat mengedepankan proses dibandingkan hasil dari penjualan itu sendiri. Tatkala Dreamland mengambil paket wisata ke Mekong Delta, Dreamland dibawa ke sebuah tempat pembuatan permen kelapa. Kita semua yang berada dalam satu rombongan diperagakan cara pembuatan permen kelapa tahap demi tahap. Pemandu tur menjelaskan bahan baku, proses awal, memasak, hingga akhirnya dibentuk permen. Sangat amat informatif dan membuat kita tahu cara tradisional pembuatan permen kelapa.
            Tak hanya itu, kita juga diberitahu cara membuat pop rice alias teng-teng kalau di Indonesia. Gandum yang masih mempunyai sari pati dipanaskan dalam wajan. Kemudian gandum tersebut meledak layaknya jagung pop corn yang mengeluarkan tepung putih. Setelah itu, pati tersebut diolah dengan digiling dengan gula. Jadilah pop rice alias teng-teng. Dreamland saja baru tahu ternyata cara pembuatan teng-teng seperti itu. Padahal teng-teng termasuk jajanan pasar khas Indonesia lho.
            Pariwisata yang mengedapankan unsur “How” membuat turis asing tertarik menyimak dan membeli jajanan tersebut. Kita jadi lebih tahu dan mengenal prosesnya dan ingin mencicipi hasil jadinya. Berbeda dengan pariwisata kita yang lebih memprioritaskan unsur “What”, sehingga hanya mendorong turis untuk membeli barang yang dijual. Kita tak pernah tahu bagaimana barang-barang tersebut diproduksi, sehingga kita pun terkadang membeli hanya sebatas untuk oleh-oleh, bukan karena rasa penasaran dan ingin tahu.
            Mungkin pariwisata Indonesia bisa belajar dari Vietnam soal bagaimana mengemas sebuah wisata menjadi pengalaman tersendiri yang tak terlupakan. Kita tak hanya berbicara tentang tempat yang indah, tapi juga proses yang menyenangkan dan menambah pengetahuan baru. Satu hal yang tidak dapat dibeli dari wisata adalah pengalaman. Kita bisa unduh foto tempat wisata di internet dengan mudah, tapi tidak dengan pengalaman yang hanya bisa dirasakan secara personal dan hanya bisa dituangkan dalam diari kehidupan masing-masing orang. 
            Semoga saja bangsa kita bisa membuat pariwisata berbasis “How” untuk penjualan batik, wayang, keris, dan lain sebagainya agar kita diakui sebagai pemilik kesenian tersebut, bukan hanya sekadar penjual suvenir saja.

~ oOo ~

Wednesday, July 30, 2014

Ayo Kita Olah Raga!

Dreamland Traveller Moment


Ayo Kita Olah Raga!
            Di Indonesia, event jalan kaki sehat, sepeda santai, atau senam riang bersama sudah menjadi tradisi tahunan yang dibuat sebagai CSR perusahaan atau instansi tertentu. Kampanye yang berusaha mengenalkan gaya hidup sehat pada masyarakat kota ini masih terkesan hanya berdampak sesaat tanpa menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mulai berolahraga. Akibatnya, acara tersebut seolah menarik banyak pihak karena door prize atau hadiah yang ditawarkan sangat menggiurkan. Sangat disayangkan rasanya jika olahraga masih belum menjadi kesadaran sebagian besar masyarakat karena kesibukan yang menumpuk setiap harinya.
            Berkaca pada kehidupan masyarakat di Saigon, kita bisa melihat bahwa olahraga menjadi salah satu gaya hidup masyarakat dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Hal ini mungkin didasari oleh niat baik pemerintah Vietnam yang membangun banyak sekali alat-alat olahraga yang biasa kita temukan di fitness secara gratis di taman kota. Kita bisa melakukan gerakan senam secara mudah dan cepat dengan alat yang tersedia. 
            Ada masyarakat Saigon yang dengan sengaja berhenti dari motor dan pergi ke alat-alat olahraga untuk melakukan gerakan badan selama 15 menit, kemudian melanjutkan perjalanan. Banyak juga pejalan kaki yang mampir untuk sekadar merenggangkan badan dan melakukan senam singkat. Olahraga menjadi budaya tersendiri yang menyenangkan karena ditunjang oleh fasilitas yang memadai di lapangan.
            Kepedulian pemerintah Vietnam ini boleh saja ditiru oleh pemerintah Indonesia, asalkan masyarakat Indonesianya sendiri sudah mempunyai kebiasaan yang baik untuk merawat fasilitas umum dengan baik. Jika selama ini, halte bus, dinding terminal, dan berbagai fasilitas umum lainnya suka sekali dirusak oleh oknum-oknum tertentu, maka hal ini harus ditertibkan terlebih dahulu. Percuma rasanya jika pemerintah membangun alat olahraga gratis, tapi hanya bertahan 1 bulan karena dirusak oleh manusia tak bertanggung jawab.
            Tak hanya itu, mental masyarakat Indonesia sendiri sudah harus dewasa dalam menganggap fasilitas umum sebagai milik bersama yang harus dijaga. Jangan sampai ada orang dewasa yang terlalu semangat sampai alat-alat olahraga tersebut jadi rusak atau engselnya copot. Setelah itu, mereka kabur entah ke mana tanpa mau bertanggung jawab. Kedewasaan inilah yang harus dikonfirmasi dulu dari masyarakat Indonesia sebelum akhirnya pemerintah bisa menyediakan fasilitas-fasilitas ini layaknya di Saigon.
            Dreamland sendiri lebih setuju jika masyarakat Indonesia saling udunan satu sama lain untuk membangun fasilitas olahraga di RT dan RW masing-masing, sehingga warganya bertanggung jawab untuk menjaga fasilitas tersebut dengan baik. Jika pemerintah yang membiayai, maka kecenderungan masyarakat adalah mencoret-coret, merusak, dan mengotori alat-alat tersebut. Jika masyarakatnya yang membeli sendiri, maka ada rasa tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi dari tangan-tangan jahil.
            Semoga saja mentalitas ini dapat dibangun agar niat baik pemerintah dalam menyehatkan masyarakat bisa terwujud tanpa dirusak oleh oknum tertentu.

~ oOo ~

Tuesday, July 29, 2014

Membudayakan Bersih Itu Sehat

Dreamland Traveller Moment


Membudayakan Bersih Itu Sehat
            Bersih itu sehat. Jargon yang sering diajarkan guru di sekolah saat anak-anak itu seolah menjadi retorika belaka tatkala melihat kenyataan di lapangan yang terjadi di Indonesia. Kebiasaan masyarakat Indonesia yang suka sekali membuang sampah sembarangan ke jalan memang sangat mendarah daging dan membuat kota-kota besar di Indonesia terlihat kumuh. Tak perlu jauh-jauh, beberapa waktu yang lalu, julukan Bandung sebagai Bandung Lautan Api diplesetkan menjadi Bandung Lautan Sampah karena banyaknya sampah yang ada di Bandung.
            Malu rasanya tatkala wisatawan asing datang ke Indonesia melihat tumpukan sampah yang menggunung di pinggir jalan. Seolah-olah mereka bisa mencap negara kita mempunyai budaya senang berkotor-kotor ria. Sifat malas membuang sampah ke tempatnya ini akhirnya membuat negara kita sulit mengatasi banjir karena ulah masyarakatnya sendiri. Jangan salahkan pemerintah jika banjir terjadi akibat sungai meluap. Wajar sungai tak mampu menahan aliran air saat hujan tatkala ada sampah rumah tangga, kasur, plastik, limbah, sampai berbagai macam benda dibuang ke sungai.
            Kebiasaan lainnya yang seringkali kita temukan di Indonesia adalah buanglah sampah lewat jendela mobil. Setiap kali berada di jalan, Dreamland selalu melihat ada saja penumpang mobil yang membuang cangkang permen, puntung rokok, bungkus chiki, dan lain sebagainya lewat jendela. Bilangnya sih tidak apa-apa, toh cuma sampah kecil ini. Padahal kalau semua orang melakukan hal yang sama, hasilnya sampah-sampah tersebut memenuhi jalanan. Ujung-ujungnya jalan jadi kumuh penuh sampah.
            Belum lagi banyak orang yang diberi brosur di jalan membuang langsung di tempat. Akibatnya kertas iklan tersebut memenuhi ruas jalanan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Kalau sudah begini, lengkaplah derita jalanan Indonesia yang penuh dengan sampah. Ironisnya, pelaku pembuang sampahnya malah mengutuk pemerintah yang tidak becus membereskan kebersihan kota. Padahal kalau pemerintah bisa memberikan cermin raksasa, kita bisa melihat siapa pelaku pembuat kekotoran kota itu secara langsung.
            Bisa itu karena biasa. Masyarakat Saigon mungkin menyadari dan mengerti bahwa bersih itu menyehatkan. Tatkala mereka membeli jajanan di jalan, bungkus sampah dari makanan tersebut dibuang pada tempatnya. Tak heran jika semua ruas taman, jalan, dan fasilitas umum menjadi bersih dan terawat dengan baik. Ketersediaan tempat sampah yang memadai dan kesadaran masyarakatnya yang tinggi membuat kota menjadi tempat yang nyaman bagi orang yang berada didalamnya.
            Setiap pagi, petugas kebersihan Saigon rajin sekali menyapu jalanan, sehingga terbebas dari sampah. Malu rasanya sebagai negara yang kondisi ekonominya lebih baik dari Vietnam justru mempunyai tingkat kebersihan yang kurang dibandingkan mereka. Ini juga sekaligus menjadi tanda tanya besar bagi pemerintah di sektor pertamanan Indonesia, apakah mereka sudah melakukan fungsinya dengan baik atau justru hanya terima gaji buta setiap bulannya.
            Membudayakan bersih itu sehat harus dimulai dari rumah. Orang tua harus mengajarkan anak-anak dengan contoh, bukan sekadar kata-kata nasihat belaka. Ajarkan untuk membuang sampah di tempatnya. Bagi pemerintah, sediakan tempat sampah yang memadai di setiap titiknya. Jangan sampai jika masyarakatnya sudah niat, tapi fasilitas membuangnya tidak tersedia dengan baik. Dreamland yakin sebenarnya kita bisa asalkan benar-benar mau melakukannya.
            Semoga saja kelak jalanan dan taman di Indonesia bebas dari sampah karena masyarakat dan pemerintah bisa bekerja sama untuk membuang sampah pada tempatnya. Semoga!

~ oOo ~

Monday, July 28, 2014

Rindangnya Taman Kota di Saigon

Dreamland Traveller Moment


Rindangnya Taman Kota di Saigon
            Tatkala Dreamland berada di Saigon, taman kota menjadi pemandangan umum yang Dreamland temui sepanjang berjalan kaki dari satu objek wisata ke objek wisata lainnya. Taman kota yang letaknya sangat strategis, antara Reunification Palace dan Notre Dame Cathedral ini sangat luas dan nyaman bagi pedestrian yang ingin beristirahat sejenak di bawah rindangnya pepohonan yang ada di Saigon.
            Dengan penataan dan tata letak yang sangat apik, taman kota di Saigon ini dibentuk sedemikian rupa, sehingga terkesan sangat asri. Meskipun letaknya di dekat 2 jalan besar, kita bisa duduk santai di kursi taman yang telah disediakan pemerintah Vietnam. Tak hanya itu, meskipun taman kota ini banyak dikunjungi penduduk lokal, Pedagang Kaki Lima (PKL) tidak serta merta membludak dan membuat sampah berceceran di mana-mana. 
            Tempat sampah pun diletakkan berjejer di sepanjang jalan dengan rapi. Trotoar yang disediakan pemerintah pun sangat besar dan nyaman. Tak heran rasanya jika berjalan kaki di Saigon menjadi sebuah pengalaman yang langka kita jumpai di Indonesia. Jika Saigon mampu memanusiakan masyarakatnya dengan menyediakan taman kota untuk tempat berkumpul dan bersosialisasi dengan orang lain. Taman kota di Indonesia mungkin mempunyai fungsi “berbeda” dengan fungsi taman kota yang semestinya.
            Pepohonan rindang dibiarkan menjadi payung alami bagi orang yang sedang duduk di taman. Ada gelandangan yang sedang tidur nyenyak dibawah rindangnya pepohonan yang ada. Tak ketinggalan ada petugas kebersihan yang selalu bertugas setiap paginya untuk membersihkan sampah daun dan plastik yang ada di taman. Wajar rasanya jika setelah capek berjalan-jalan, keberadaan taman kota ini membuat Dreamland bisa mengisi kembali energi dengan duduk santai sambil menikmati suasana jalan.
            Berbeda rasanya dengan taman-taman di Indonesia pada umumnya, khususnya di Bandung dan Jakarta yang tidak dikelola dengan baik. Semak-semak liar dibiarkan tumbuh subur, penerangan jalan di taman remang-remang, dan banyak sampah makanan yang dibiarkan menumpuk tanpa dibersihkan. Akibatnya, taman kota menjadi rusak, kumuh, bahkan dikerubungi lalat. Belum lagi saat malam hari taman justru dijadikan tempat melakukan perbuatan yang tidak senonoh karena sepi dan kurang ada penerangan. Taman kota menjadi diasosiasikan negatif karena dikondisikan seperti itu.    
            Andai saja taman kota bisa difungsikan seperti semestinya layaknya di Saigon, kita mungkin tak perlu terlalu kampungan saat melihat taman-taman kota di luar negeri yang sangat tertata dan terawat dengan baik. Surabaya mungkin sudah memulai langkah awal yang baik untuk membangun taman sebagai ciri khas kota yang ramah terhadap warganya berkat upaya Walikota Surabaya, Ibu Risma. Semoga saja kota-kota besar lainnya menyusul agar taman kota bisa menjadi objek wisata tersendiri saat akhir pekan bagi keluarga Indonesia!

~ oOo ~