Melambat, sebuah kata berkonotasi negatif, namun perlu dilakukan dalam satu fase tertentu. Ketika hidup berjalan begitu cepat dan rasanya raga terengah mengejar tempo kehidupan yang semakin cepat, kadang kita lupa bahwa istirahat dan menarik nafas juga perlu dilakukan untuk keseimbangan itu bisa tercipta. Media sosial menciptakan etalase dan fatamorgana tentang aneka pencapaian dan kegembiraan, di satu sisi menjadi sumber ketidakamanan.
Sama halnya dengan perjalanan, mengejar ribuan mil untuk foto dan jumlah tempat yang disinggahi, kemudian diunggah ke media sosial. Tanpa sempat melihat langkah kaki yang melangkah, wangi roti yang dipanggang, atau sekadar mencicipi kuliner lokal dengan tenang. Tempo hidup yang cepat dan waktu yang terus berlari seolah menciptakan tangga imajiner dalam kehidupan. Sungguh lelah bukan, setiap hari berlomba dengan ekspektasi dan persepsi.
Saya teringat pengalaman ketika mengantri di Pere Lachaise, pemakaman bawah tanah di Paris yang memberikan seni tentang perjalanan itu sendiri. Menunggu, menanti, dan menikmati suasana bersama orang asing untuk sebuah cita. Kenangan itu lebih melekat atau sama berharganya dengan artefak yang dilihat di bawah tanah Paris yang menakjubkan. Atau menikmati sejenak naik balon udara di Cappadocia untuk sekadar melihat dari angkasa pemandangan ciptaan-Nya yang luar biasa.
Hidup memang cepat, berubah, dan dinamis, tapi kadang ada kalanya melambat adalah cara terbaik untuk menikmati ceritanya. Semata bukan berlari untuk menjadi yang tercepat, tetapi menjadi diri sendiri seutuhnya dengan dinamika cerita yang menakjubkan dan memberi makna tersendiri dalam setiap langkah, detik, dan momennya.