Dreamland Traveller
Prinsip
Mainstream dalam Wisata
Yanchep National Park, Perth |
Wisata kini sudah menjadi salah satu
kebutuhan utama masyarakat Indonesia, khususnya bagi mereka yang tergolong
generasi milenial. Kebutuhan akan aktualisasi diri dengan memposting foto di
ikon wisata tertentu, membanggakan pencapaian destinasi dengan tulisan “Wish
You Be Here”, serta mencicipi pengalaman budaya baru tentu menjadi satu dari
berbagai alasan traveling bagi sebagian besar orang. Apalagi kini semua
kebutuhan traveling dapat didapatkan dengan mudah via online, baik itu tiket
pesawat, hotel, tiket atraksi, dan berbagai informasi seputar destinasi.
Dreamland seringkali tergelitik
ketika melihat postingan atau cerita dari seseorang ketika baru saja pulang
berwisata dari sebuah tempat. “Eh kalau pergi ke New Zealand, harus sewa mobil
soalnya banyak tempat antimainstream yang bisa dikunjungi.” “Kalau pergi ke
Bangkok, harus coba Durian Monthong soalnya itu asli dari tempatnya lho.” “Di
Singapore kalau ga beli ice cream potong kayaknya ada yang kurang.” Banyak pula
saran-saran yang seolah “mengharuskan” untuk mencoba sesuatu.
Padahal wisata bukanlah soal
mengerjakan tugas yang sudah menjadi kebiasaan ramai-ramai banyak orang yang
berkunjung, tapi pengalaman yang otentik dan berbeda untuk setiap orang yang
pergi. Seandainya saja A tidak bisa menyupir mobil di New Zealand, apakah A
tidak bisa menikmati New Zealand dengan caranya sendiri. Atau jika B alergi
Durian Monthong, apakah B tidak bisa menikmati Bangkok secara utuh. Wisata
justru menjadi menarik karena adanya keterkaitan individu dengan pengalaman
personal yang dialaminya.
Sepanjang pengalaman Dreamland
menjelajahi tempat di berbagai negara, hal yang selalu Dreamland ingat adalah
saat-saat konyol selama perjalanan, mulai dari marathon di bandara Suvarnabhumi
karena hampir tertinggal pesawat, terpaksa bayar mahal akibat kelebihan bagasi
di Nanjing, ditolong masyarakat setempat di Thailand ketika tersesat, sampai
ditipu paket tur yang tidak sesuai harapan. Bukan pengalaman mencoba Hanbok di
Korea, naik tram di Victoria Peak, atau berhore ria di Universal Studios
Singapore. Pengalaman itulah yang membuat kisah perjalanan itu menjadi seru dan
bisa dinikmati.
Andai wisata dijadikan sebuah ujian
mainstream yang tugas-tugasnya harus dilakukan oleh orang yang berkunjung
karena “diwajibkan” majalah, panduan wisata, atau blog perjalanan tertentu,
bukankah wisata itu ibarat menjadi robot, di mana jutaan orang dari berbagai
negara melakukan hal yang sama dengan metode yang sama. Ironisnya, saat ditanya
sehabis liburan biasanya orang yang melakukan wisata dengan metode ini
mengatakan “Tempatnya bagus kok” atau “Tempatnya ga bagus” dan titik tanpa bisa
menceritakan lebih lanjut dengan panca indera secara utuh tentang perjalanan
yang mereka lakukan.
Maka dari itu, Dreamland rasa
prinsip mainstream dalam liburan sudah seyogianya ditinggalkan agar wisata
tidak hanya memperkaya destinasi dan cap di paspor, tetapi juga pengalaman
pribadi saat berinteraksi dengan perbedaan budaya dan masyarakat yang ada di
setiap tempat yang dikunjungi. Selamat berwisata!
~
oOo ~