Not What, But How?
Salah
satu elemen pariwisata yang sangat kental di semua negara adalah belanja,
shopping, cuci mata, atau oleh-oleh. Seringkali pariwisata di Indonesia sangat
mengutamakan sekali jajanan yang mereka jual. Berbagai pernak-pernik, makanan,
suvenir, tas, sepatu, dan lain sebagainya dijual dengan harga tertentu, lalu
dibungkus di kasir. Ya, hanya sebatas itu. Kita hanya diberi kesan ambil jika
mau, tinggalkan jika tidak mau. Akibatnya, belanja menjadi hanya sebatas
belanja tanpa kesan lain.
Berbeda
dengan Vietnam yang sangat mengedepankan proses dibandingkan hasil dari
penjualan itu sendiri. Tatkala Dreamland mengambil paket wisata ke Mekong
Delta, Dreamland dibawa ke sebuah tempat pembuatan permen kelapa. Kita semua
yang berada dalam satu rombongan diperagakan cara pembuatan permen kelapa tahap
demi tahap. Pemandu tur menjelaskan bahan baku, proses awal, memasak, hingga
akhirnya dibentuk permen. Sangat amat informatif dan membuat kita tahu cara
tradisional pembuatan permen kelapa.
Tak
hanya itu, kita juga diberitahu cara membuat pop rice alias teng-teng kalau di
Indonesia. Gandum yang masih mempunyai sari pati dipanaskan dalam wajan.
Kemudian gandum tersebut meledak layaknya jagung pop corn yang mengeluarkan
tepung putih. Setelah itu, pati tersebut diolah dengan digiling dengan gula.
Jadilah pop rice alias teng-teng. Dreamland saja baru tahu ternyata cara
pembuatan teng-teng seperti itu. Padahal teng-teng termasuk jajanan pasar khas
Indonesia lho.
Pariwisata
yang mengedapankan unsur “How” membuat turis asing tertarik menyimak dan
membeli jajanan tersebut. Kita jadi lebih tahu dan mengenal prosesnya dan ingin
mencicipi hasil jadinya. Berbeda dengan pariwisata kita yang lebih
memprioritaskan unsur “What”, sehingga hanya mendorong turis untuk membeli
barang yang dijual. Kita tak pernah tahu bagaimana barang-barang tersebut
diproduksi, sehingga kita pun terkadang membeli hanya sebatas untuk oleh-oleh,
bukan karena rasa penasaran dan ingin tahu.
Mungkin
pariwisata Indonesia bisa belajar dari Vietnam soal bagaimana mengemas sebuah
wisata menjadi pengalaman tersendiri yang tak terlupakan. Kita tak hanya
berbicara tentang tempat yang indah, tapi juga proses yang menyenangkan dan
menambah pengetahuan baru. Satu hal yang tidak dapat dibeli dari wisata adalah
pengalaman. Kita bisa unduh foto tempat wisata di internet dengan mudah, tapi
tidak dengan pengalaman yang hanya bisa dirasakan secara personal dan hanya
bisa dituangkan dalam diari kehidupan masing-masing orang.
Semoga
saja bangsa kita bisa membuat pariwisata berbasis “How” untuk penjualan batik,
wayang, keris, dan lain sebagainya agar kita diakui sebagai pemilik kesenian
tersebut, bukan hanya sekadar penjual suvenir saja.
~
oOo ~